“PERILAKU SOSIOPATIK, BERBAHAYAKAH?”
Yang masih teringat di benak kita ada dua
peristiwa yang sempat membikin heboh dunia maya. Yaitu, keusilan seorang youtuber
bernama Ferdian Paleka dan dua teman-temannya. Mereka membuat prank dengan memberikan
sembako berisi sampah dan batu kepada kelompok transpuan dan ke sekumpulan
anak-anak. Yang kedua, adalah aksi dari Hayatun, seorang anak dari kelompok
anak SMA yang terkena hukuman sosial akibat berkonvoi di tengah pandemi demi
merayakan kelulusan SMA. Kedua kejadian tersebut jelas merupakan representasi
kesalahan sosial yang sama sekali tak sedap dipandang mata dan sulit diterima
nurani kita.
Masyarakat sudah dipusingkan oleh segala
isu di tengah pandemi Covid-19 yang juga belum usai. Kehadiran dua
peristiwa itu jelas bukan menjadi beban masalah sosial yang meresahkan
masyarakat. Mau tidak mau, kita harus memberi perhatian tentang yang sebenarnya
terjadi dalam diri mereka. Yang terjadi adalah pembentukan diri sosiopatik
dalam diri mereka.
Hasrat Ephitumea
Untuk mengawali pembahasan, penting kiranya
kita membongkar dan mengkritisi hasrat individu kedua anak muda ini yang
rata-rata berkecimpung aktif di dunia media sosial, yaitu YouTube dan Instagram.
Masalah sosial sering kali muncul biasanya karena persoalan struktural, sistem
yang menyebabkan disorganisasi masyarakat, dan juga perilaku individu. Individu
yang penuh dengan ambisi dan hasrat oleh Plato disebut sebagai Ephitumea. Nafsu-nafsu primitif manusia yang harus segera dipenuhi
tanpa bisa tawar-menawar. Nafsu-nafsu ini merupakan insting yang sangat susah
untuk tunduk pada ratio (akal budi). Itulah yang dikatakan dengan hasrat ephitumea.
Hasrat-hasrat terpendam berbasis kebutuhan alamiah dan kesenangan semata. Hasrat
tersebut mungkin tak akan menjadi masalah bila dipenuhi untuk menuntaskan kebutuhan
primer dirinya tanpa harus melibatkan orang lain secara aktif. Namun, akan
berbeda cerita bila individu memaksa atau minimal melibatkan orang lain sebagai
objek dari pemenuhan hasrat .
Ferdian, dalam pandangan yang sangat awam telah menciptakan persepsi publik seakan-akan ingin membuat konten yang berbeda. Namun alih-alih berbeda, sebetulnya ia hanya menyembunyikan hasrat "ingin konten berbeda". Bahwa konten dan hasrat seperti ini tidak hanya
dilakukan oleh Ferdian semata. Bisa jadi beberapa youtuber memiliki
konten serupa seperti yang dilakukan Ferdian.
Di samping itu ada Hayatun dan kelompoknya yang terjebak pada sub kultur
menyimpang dalam dunia anak sekolah, khususnya SMA. Tradisi parasit
non-produktif yang sejak lama sulit dihentikan dalam dunia pendidikan kita. Masyarakat
dipaksa memahami bahwa tindakan corat-coret baju SMA dan konvoi adalah ekspresi
kegembiraan seorang remaja karena kelulusannya yang akan dijadikan simbol
kenang-kenangan. Padahal, sejatinya, tindakan tersebut
hanyalah hasrat balas dendam kepada kakak kelas bahwa angkatan mereka juga bisa
melakukan hal yang sama dan pada saat yang sama menjadi simbol ejekan kepada
adik kelas, “bisa ga kaya
kami nanti?” Bisa dikatakan bahwa tindakan Ferdian dan Hayatun sebagai
popularitas semata dan juga upaya untuk menuntaskan hasrat liar pribadi semata.
Reaksi Sosial
Sebenarnya perilaku Ferdian dan Hayatun
menjembatani kita untuk memahami apa yang disebut oleh sosiolog bernama Edwin M
Lemert sebagai perilaku sosiopatik. Apakah sosiopatik itu
sebenarnya? Adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta
norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak
sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh
masyarakat lainnya. Seorang individu
memiliki potensi menjadi seorang sosiopat bila ia mengalami melakukan
penyimpangan sekunder. Awalnya individu melakukan penyimpangan pertamanya yang
bersifat primer alias dalam tertentu masih bisa diterima oleh masyarakat.
Namun, tindakan menyimpang itu bisa berkembang ke level sekunder yang nantinya
sudah tak bisa ditolerir oleh masyarakat.
Adanya fakta yang memperkuat saat Ferdian
dalam pelariannya membuat klarifikasi di Instagram barunya dan memberikan
syarat tak masuk akal bahwa dia akan melaporkan diri ke polisi hanya bila
followers instagramnya kembali sejumlah banyak akun yang hilang di akun
sebelumnya. Ia bahkan tidak peduli dengan akibat apa yang telah ia
perbuat dan menyalahkan orang lain yang melaporkan akunnya. Pada titik ini,
Ferdian berhasil mengembangkan tindak penyimpangan sekunder dan menjadi seorang
sosiopat tulen.
.

Demikian pula dengan tindakan sosiopatik
yang dilakukan Hayatun dan kelompoknya. Tindakan ini sudah bisa digolongkan sebagai
penyimpangan sekunder karena memang ada larangan keras mengenai PSBB yang
dilakukan pemerintah. Kasus Hayatun dan kelompoknya dengan tindakan konvoi barangkali
tidak terdeteksi, pun tertangkap tidak akan menjadi berita memilukan secara
nasional. Masalahnya, Lemert menjelaskan masyarakat akan mudah memberikan
reaksi melalui visibilitas sosial dari tindakan tersebut. Dan, ya, tindakan
teledor dari Hayatun dan rekan-rekannya adalah snapgram yang jelas bisa dilihat
oleh semua orang. Selama individu entah
dari anak remaja hingga dewasa masih belum bisa mengelola hasrat-hasrat pribadi
maka ruang-ruang di masyarakat akan terus menjadi arena pertempuran sosial yang
tak kunjung usai. Dan, ujungnya ruang maya akan selalu menjadi arena gladiator
yang terbesar untuk pertempuran tersebut.

Comments